“Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu melahirkan pemimpin yang lebih baik dari dirinya”
Dunia beserta segala isinya bersifat fana. Suatu saat
akan lenyap oleh takdir dari-Nya. Hilang beserta semua yang pernah terkandung
di dalamnya. Begitu juga dengan manusia. Fisiknya suatu saat akan ambruk
ditelan tanah dan dimakan cacing hingga tak bersisa. Tak ada lagi yang bisa
dilakukan pada hari itu. Semua manusia tak ada yang bisa melawan, satu pun jua.
Namun, akan ada yang bersifat abadi dalam “genggaman”-Nya.
Yakni amal manusia, baik itu amal baik maupun amal buruk. Kelak semuanya akan dibawa
menuju fase setelah dunia. Yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Maka,
seorang pemimpin seharusnya tahu dan yakin akan hal ini. Sehingga ia akan
menjadi pemimpin yang bisa mempertanggungjawabkan semua ucapan dan perbuatannya
ketika ia sedang memimpin. Ia akan jadi pemimpin yang ‘berpikir’ sebelum
‘bertindak’ dan pemimpin yang ‘merasa’ sebelum ‘berbuat’. Pertanggungjawaban
yang akan diminta saat di dunia maupun di akhirat.
Mengurai lebih dalam soal tanggung jawab pemimpin,
kita akan dapati satu hal yang juga sangat penting dan mendesak, yakni
regenerasi pemimpin. Dan ini termasuk salah satu bentuk tanggung jawab pemimpin
yang juga bisa dipertanyakan oleh orang-orang yang dipimpinnya. Kebanyakan kita
sudah sangat paham bahwa bicara pemimpin adalah bicara soal pengaruh dan karya.
Kebanyakan orang (baca:pemimpin) telah mencapai level itu. Dia memiliki
pengaruh kuat dan mempunyai karya yang dirasakan oleh publik yang dipimpinnya.
Namun tak sedikit yang melewatkan waktu untuk memastikan pengaruh baik dan
karya hebat-nya tetap bisa berlanjut dan masih bisa dirasakan publik setelah ia
tak lagi memimpin. Terlebih untuk melahirkan pemimpin dengan pengaruh yang
lebih luas dan karya yang lebih hebat dari dirinya. Disinilah letak urgensi
regenerasi pemimpin.
Erie Sudewo dalam buku Character Building memaparkan bahwa tanggung jawab pertama pemimpin
adalah menentukan sikap yang akan dilakukan dan tanggung jawab terakhir
pemimpin adalah melihat apa yang telah ditinggalkan apakah manfaat atau
mudharat. Tentu kita sepakat, manfaat-lah yang diharap. Jika pemimpin telah
lahirkan manfaat yang baik dan luas, tugas berikutnya mempertahankan
kebermanfaatan tersebut, bahkan meningkatkan agar lebih baik dan lebih luas
lagi. Cara yang efektif untuk ditempuh adalah dengan melakukan kaderisasi
pemimpin. Sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan Khulafaur
Rasyidin.
Bila kita buka Sirah Nabawiyah, sebelum Rasulullah
wafat, beliau telah mewasiatkan kepada umat Islam waktu itu, bahwa yang akan
melanjutkan kepemimpinan sepeninggal Rasulullah adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Yang telah ia bina dan gembleng sejak awal. Termasuk lima orang yang pertama memeluk
Islam, setelah Khadijah sang istri dan Ali. Abu Bakar sendiri telah melewati
proses kaderisasi panjang di bawah binaan Rasulullah. Ia yang kemudian dengan
lantang menyebut semua perkataan Rasulullah adalah benar, sehingga gelar
Ash-Shiddiq disematkan padanya. Ia berjuang sepenuh jiwa dan raga untuk dakwah
Rasulullah. Selalu ada di samping Rasulullah dalam perjuangan menyebarluaskan
ajaran Islam. Dan banyak kontribusi Abu Bakar lainnya hingga kita akan yakin
dan sepakat bahwa ia merupakan orang yang cocok dan tepat meneruskan perjuangan
Rasulullah SAW. Sehingga bukan tanpa dasar Rasulullah mengangkat Abu Bakar sebagai
penggantinya. Dan hari ini kita bisa merasakan sendiri, cahaya Islam telah
sampai kepada kita yang berjarak 1400-an tahun jauhnya dari Rasulullah. Semua
berawal dari proses regenerasi pemimpin yang dilakukan Rasulullah.
Berdasarkan apa yang dilakukan Rasulullah, kesadaran
untuk melakukan kaderisasi pemimpin diyakini semakin penting dan mendesak. Ini
yang membuat John C. Maxwell pun dalam bukunya yang berjudul Developing the Leaders Around You menulis
bahwa tanggung jawab utama seorang leader
(pemimpin) adalah mengidentifikasi pemimpin potensial. Seorang pemimpin
yang memunculkan pengikut akan dibatasi oleh jangkauan sentuhan
kepemimpinannya. Kesuksesannya memimpin berakhir ketika ia tidak menjadi
pemimpin. Maka, pemimpin yang mampu melahirkan pemimpin baru akan
mempertahankan eksistensi kepemimpinannya. Bahkan ia dan organisasi (baca:publik)
yang dipimpinnya akan tetap memiliki masa depan cemerlang. Karena tetap
memiliki pemimpin yang telah dibentuk. Terlebih jika pemimpin baru tersebut
lebih baik dari pemimpin sebelumnya. Maka pemimpin yang mampu melahirkan
pemimpin baru yang lebih baik dari dirinya, dialah sebaik-baik pemimpin.
0 comments:
Post a Comment