Hari itu, sekitar 4 hari lamanya (23-26 September 2016) saya dan mas Hassan, teman kantor, berkesempatan mengunjungi salah satu kota yang indah, Ambon. Adapun tujuan kami sebetulnya dalam rangka tugas dari kantor, berupa monitoring dan evaluasi program Beastudi Etos Wilayah Ambon. Program Etos di Universitas Pattimura merupakan paling muda dintara 16 kampus lainnya. Etos di Unpatti baru dibuka pada tahun 2012, dan di bulan September kemarin angkatan pertamanya diwisuda (istilah untuk penerima Beastudi Etos yang telah selesai).
Saya ingin sedikit berbagi oleh-oleh dari Ambon. Pappeda? Bukan, hehe. Kalau ada pappeda online, mungkin sudah saya bagikan, hehehe.
Wisata Ambon
Kami memang sempat mengunjungi pantai Liang yang aduhai indahnya. Pasirnya bersih dan putiiih. Airnya jernih, sampai ikan-ikan yang berenang kelihatan meskipun nggak menyelam. Ini memang hadiah dari alam untuk warga Ambon.
Pun kami sempat berenang dan menyelam di Lubang Buaya. Bagian dari laut tapi menjorok ke darat berbentuk elips dengan diameter kira-kira 500 meter. Wuiiih....mantap abis deh pokoknya. Saya nikmati dengan berenang dan berfoto ria bareng rekan-rekan Etos Ambon. Berfoto di dalam air pastinya, hehe.
Oleh-oleh Ambon
Oleh-oleh Ambon? Ada minyak kayu putih yang sangat terkenal. Ada kue kenari, makron, dan banyak lagi deh. Yang dibawa pulang cuma sebagian kecil aja, yaaah sesuai kantong broo.
Kuliner
Nnah, seputar kuliner ini yang paling saya suka. Kalian pasti tahu soal pappeda ya? oke siip kalau gitu. Saya nggak bisa cerita karena nggak sempat nyicipin tuh makanan yang katanya ajiib (hahaha...).
Tapi sempat merasakan makanan Jambon (Jawa Ambon). Kenapa namanya Jambon?tanya saya sama Pak Ulu, rekan kami yang asli dari Ambon, yang rela menemani kami kemana-mana.
Jadi sejarahnya, ada orang Jawa yang buka usaha warung makan, ciri khas masakannya adalah masakan Jawa yang disesuaikan dengan lidah orang Ambon. Mulai dari tambahan rempah-rempahnya. Dan sebagainya. Jadilah Jambon. Daaan, tahu nggak? Di Ambon cuma ada 2 warung Jambon, dari dulu sampai sekarang. Dari puluhan tahun mungkin. Warbyasah.
Dan akhirnya setelah sekian lama cuma dengar namanya, saya makan jugaa ikan baronang. Tiga tahun di Samarinda cuma dapet ceritanya aja soal enaknya ikan ini. Malam itu terbayarkan penasaran saya selama ini. Kalau ikan laut yang lain sudah pernah mencicipi sewaktu di Samarinda, lumayan ada teman yang hobi mancing, jadi kecipratan bau amis ikannya, hihihi. Ikan tenggiri, kakap merah, kerapu tutul, kerapu sunu, ikan sebelah, trakulu, dsb sudah pernah saya cicipi. Alhamdulillah. Hehe.
Jadi sejarahnya, ada orang Jawa yang buka usaha warung makan, ciri khas masakannya adalah masakan Jawa yang disesuaikan dengan lidah orang Ambon. Mulai dari tambahan rempah-rempahnya. Dan sebagainya. Jadilah Jambon. Daaan, tahu nggak? Di Ambon cuma ada 2 warung Jambon, dari dulu sampai sekarang. Dari puluhan tahun mungkin. Warbyasah.
Dan akhirnya setelah sekian lama cuma dengar namanya, saya makan jugaa ikan baronang. Tiga tahun di Samarinda cuma dapet ceritanya aja soal enaknya ikan ini. Malam itu terbayarkan penasaran saya selama ini. Kalau ikan laut yang lain sudah pernah mencicipi sewaktu di Samarinda, lumayan ada teman yang hobi mancing, jadi kecipratan bau amis ikannya, hihihi. Ikan tenggiri, kakap merah, kerapu tutul, kerapu sunu, ikan sebelah, trakulu, dsb sudah pernah saya cicipi. Alhamdulillah. Hehe.
Oleh-oleh paling mahal
Mau tahu oleh-oleh dari Ambon yang paling mahal???
Makanan? Bukan
Minuman? Bukan juga.
Barang kerajinan? Bukaan.
So, what?
Oleh-oleh dari Ambon yang paling mahal adalah tentang nikmat iman dan islam.
Sepanjang saya berkunjung ke beberapa tempat di nusantara ini, belum pernah sekali ini saya merasa terenyuh setiap detiknya. Lebaaay...Nggak, ini serius brooo.
Coba pikir deh. Setiap orang bepergian ke suatu tempat wisata, pasti yang dicari dan untuk dibawa pulang adalah oleh-oleh, baik bentuknya makanan/minuman maupun yang berupa barang. Tapi, sedikit sekali yang punya pikiran bahwa kesan tentang tempat tersebut lebih berharga dari oleh-oleh yang berwujud (kelihatan fisiknya). Persis seperti yang saya rasakan kemarin.
Saya jadi teringat lagunya Raihan. "Iman adalah mutiara, di dalam hati manusia. Iman tak dapat diwarisi. Iman tak dapat dijual beli...dst"
Tepat sekali lirik nasyid Raihan diatas. Iman tak bisa dinilai dengan uang ataupun materi. Bahkan Nabi Muhammad pada saat berdakwah, saat diancam untuk menghentikan dakwahnya oleh kafir Quraisy, beliau bilang dengan lantang yang kurang lebih "Seandainya matahari di tangan kananku, bila rembulan ditangan kiriku, takkan pernah aku tinggalkan perkara ini (menyampaikan risalah)...". Terlepas hadits tersebut terkategori dhaif, namun maknanya sungguh mendalam bagi saya pribadi.
Yakni tentang iman yang harus ada di dalam dada meskipun maut taruhannya. Karena tak ada gunanya hidup tanpa ada iman di dada dan hati kita. Semoga kita selalu bersyukur dan menjaga iman ini agar tetap bersemayam dalam dada. Dan semoga kita dimatikan oleh-Nya dalam keadaan beriman dan berIslam.
Cahaya Islam di Ambon
Saya sendiri punya keyakinan yang kuat tentang masa depan Islam di Ambon. Masjid Raya Ambon, Al Fatah, kunci dan titik tolak perkembangan Islam disana, masih berdiri tegak dan gagah. Dengan dimakmurkan oleh warga muslim Ambon setiap harinya.
Memang sudah bukti sepanjang sejarah, dari
masjid, Islam tumbuh dan berkembang. Di mana-mana, perkembangan Islam
bermula dari masjid. Dan di Ambon, pun sama. Dari Masjid Raya Al
Fatah ini lah nilai-nilai Islam tumbuh dan menyebar ke seluruh ruang di kota
kecil ini.
Akhir kata, dari lubuk hati yang paling dalam, saya mendoakan semoga saudara-saudara muslim di Ambon tetap istiqomah dlm melaksanakan syariat dan mensyiarkan Islam di bumi Pattimura. Aamiin.
Dan semoga Ambon selalu aman dan tenteram dlm bingkai NKRI.
Salam dari Saudaramu,
Muhamad Saepudin
0 comments:
Post a Comment