Perjalanan ke Pasar Ciampea Baru
Pagi hari sekitar pukul 06.00
WIB, kedua bocil (bocah kecil) saya
sudah berlarian kesana-kemari. Menunggu ayah dan ibunya yang sedang siap-siap akan
berangkat menuju sebuah tempat, yang ketika bulan Ramadhan lebih ramai dari
biasanya, yang pembeli bisa menawar dengan bebas, yang menjadi tempat favorit
masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Tebak apa? Ya, pasar. Tepatnya
pasar tradisional.
![]() |
Foto Pasar Ciampea Baru (sumber: kompasiana.com) |
Kaki kanan, saya ayunkan tepat
diatas pedal sepeda motor, seketika sepeda motor saya meraung “brmmmm...”.
Sekitar lima menit motor saya panaskan, lalu motor pun saya kendarai menuju
pasar Ciampea Baru. Waktu yang diperlukan untuk sampai ke pasar kira-kira 15-20
menit dengan kecepatan sedang 40-50 km/jam. Tibalah kami di parkiran pasar
Ciampea Baru.
Setibanya disana, terlihat banyak
sekali ibu-ibu maupun bapak-bapak yang pulang membawa kantong keresek yang
penuh dengan aneka hasil belanja. Kanan dan kiri. Beberapa ada yang pakai
kardus, hingga 3-4 kardus banyaknya. Mungkin mereka pedagang warung kelontong.
Pedagang bubur ayam sibuk melayani pembelinya yang mulai lapar. Tukang parkir
berusaha merapikan susunan motor yang silih datang dan pergi setiap saat.
Tangannya cukup sigap untuk membantu pengunjung pasar yang menitipkan motornya
disana. Angkot pun turut membuat suasana pasar jadi ramai. Kadang bunyi klakson
dari mulutnya terdengar merayu pengunjung yang kelihatan akan pulang ke
rumahnya. “Ayoo bu...berangkat”, begitu kira-kira. Seperti itulah kira-kira
pagi itu di pasar Ciampea Baru. Namun, saya perhatikan hari ini lebih ramai dari
biasanya. Maklum ini hari terakhir di bulan Sya’ban.
Dua puluh menit lamanya, istri
saya sudah kembali dengan menenteng satu kantong kresek merah. Berisi
setengahnya. Padahal jika hari-hari biasa bisa dua sampai tiga kantong kresek
ditentengnya. Hari ini belanja sedikit saja, hari Sabtu baru belanja lebih
banyak, begitu katanya. Baiklah, saya oke saja. Yang penting dapur ngebul, artinya ada yang dimasak,
artinya kita bisa makan, hehehe. Maahirah dan Ahsan rupanya telah kenyang
dengan bubur ayam yang masuk ke perutnya ketika menunggu ibunya belanja. Begitu
juga saya, yang harus selalu siap menghabiskan sisa bubur ayam mereka. Hanya
dua porsi yang dipesan, untuk Maahirah dan Ahsan, namun sisa dari dua porsi
mereka kalau digabung hasilnya bisa jadi satu porsi dewasa.
Ada Hal Menarik
Sepulang dari pasar, saya ngobrol
dengan istri dalam perjalanan pulang menuju rumah. Rupanya ada yang menarik
perhatian istri saya selama belanja di pasar. Apa itu? Daging ayam? Bukan.
Nugget? Bukan. Ikan hiu? Bukan juga. Sate buaya? Bukaaan. Sop kalajengking?
Hmmm, bukan juga. Abang-abang pedagangnya ganteng? Bukaaaaaaan, cuma saya yang
ganteng, kata istri saya, hehee. Jadi apa sih yang menarik?
Ternyata ada beberapa hal yang
menarik. Pertama, adanya
pedagang-pedagang baru yang muncul. Ada yang jual daging sapi, jual
kolang-kaling, jual agar-agar, jual kurma, dan banyak lagi. Ini mungkin yang
disebut berkahnya Ramadhan. Bisa memunculkan peluang penghasilan atau tambahan
pendapatan bagi masyarakat. Kedua,
spot yang sebelum Ramadhan kosong jadi terisi. Diisi siapa? Ya penjual yang
tadi disebutkan diatas. Ketiga,
munculnya pedagang baru yang mengisi spot-spot yang kosong sebelumnya. Yeee,
itu kan sama dengan diatas. Hehehe, iya betul. Memang yang menarik dari
petualangan (ciee petualangan) saya ke pasar di hari terakhir bulan Sya’ban
atau 1 hari menjelang bulan Ramadhan adalah munculnya pedagang baru di pasar Ciampea Baru.
Nah, jika saya kunjungi
pasar-pasar lain di Bogor, mungkin juga akan didapatkan hal yang sama.
Bermunculannya pedagang baru. Atau dengan kata lain, bertambahnya para pedagang
yang ada di pasar. Entah pedagang lama yang menambah barang dagangannya. Atau
pun yang memang pedagang baru di pasar. Ini artinya ada sebagian warga yang
bertambah pendapatannya. Ini saya yakin tidak hanya terjadi di pasar yang ada
di Bogor, tapi di seluruh penjuru Indonesia. Sudah bukan jadi rahasia umum
lagi.
Cerita lainnya, akan ada beberapa
pedagang yang meraup untung di bulan Ramadhan akan kita temui di berbagai
media, baik cetak maupun elektronik. Bahkan mungkin bisa bertahan beberapa
pekan setelah bulan Ramadhan untuk penjual produk-produk tertentu. Sekali lagi,
kalau dilihat dari perspektif agama, ini merupakan berkahnya Ramadhan.
Contoh diatas hanya bagian kecil
dampak positif Ramadhan di bidang ekonomi yang langsung dirasakan oleh warga
dan bisa terlihat atau terbaca oleh kita, tentu masih ada banyak lagi yang
lainnya. Masih banyak dampak positif yang bisa kita lihat dan rasakan pada
bidang-bidang kehidupan lainnya. Kira-kira apa lagi ya dampak positifnya? Boleh
ditambahkan di kolom komentar ya.
Tak lupa, saya mengucapkan mohon
maaf lahir dan batin, semoga kita bisa meraih gelar takwa di bulan Ramadhan
kali ini. Aamiin. Marhaban ya Ramadhan.
1 comments:
Kalo di tempatku, berkah ramadhannya, jalanan jd sepian mas :p. Mungkin para pekerja kantorannya jd lbh cepet pulang. So, aku yg kalo pulang msh ttp di jam yg sama, jd ga ngerasain macet :D.
Post a Comment