Menyikapi Musibah
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (QS. 2:155)."Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (QS. 2:155).
Ayat ini berbicara tentang adanya cobaan yang akan dialami oleh kaum Muslimin, ketika manusia sedang diuji oleh Allah SWT, seringkali ia merasa seolah-olah ujian yang diterimanya itu sangat berat. Seolah-olah tidak ada yang lebih berat cobaannya selain yang terjadi pada dirinya. Untuk menghilangkan persepsi semacam ini, ketika Allah memberika ujian kepada seorng mukmin, Allah SWT menggunakan lafadz "bisyai-in" yang artinya sedikit.
Ayat ini berbicara tentang jihad. Ini artinya Allah sedang berbicara dengan kaum mukminin, karena yang melakukan jihad adalah orang yang beriman. Lafadz yang dipakai Allah adalah "bisyai-in min al-khouf..." yang artinya "...dengan sedikit ketakutan..." Perkataan bisyai'in, dipakai dengan menggunakan naqiroh yang bertujuan untuk menyedikitkan Jadi pada dasarnya ketika kita seorang mukmin ini diuji fi thoriiqil iman -dalam jalan keimanan. Allah dalam ayat ini menggunakan kata bi syai'in. Akan tetapi sebenarnya ketakutan dan kelaparan yang dirasakan oleh orang muslim tidak berbeda dengan ketakutan dan kelaparan yang dialami oleh orang kafir. Tetapi kenapa Allah menggunakan lafadz bi syai'in? Ini dimaksudkan bahwa bagaimanapun besarnya ujian Allah yang diberikan kepada kaum muslimin, tetapi sangat kecil jika dibandingkan dengan adzab Allah kepada orang kafir di dunia atau di akhirat. ita dapat memperhatikan firman Allah jika berbicara kepada orang kafir. Antara lain Allah berfirman,
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ ءَامِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari ni'mat-ni'mat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbua" (QS An-Nahl: 112).
Ayat 112 dari QS An-Nahl ini berkaitan dengan orang kafir. Ketika berkaitan dengan orang kafir Allah tidak mengatakan "bisyai-in min al-khouf...", tetapi "libaasa al-juu'I wa al-khoufi..."
Ketika Allah mengatakan kepada kaum Muslimin, Allah menggunakan bahasa yang berbeda, dimana Allah menggunakan kata bi syai'in, untuk menyedikitkan. Inilah bukti bahwa ujian yang diberikan Allah kepada seorang mukmin itu sebenarnya sangat sedikit.
Kemu'jizatan Al-Qur'an seperti ini tidak akan dapat kita pahami jika hanya membaca terjemahan Al-Qur'an saja. Oleh karena itu ada Ulama' yang melarang untuk menerjemahkan Al-Qur'an, karena dikhawatirkan akan mengurangi kesempurnaan Al-Qur'an itu sendiri. Tetapi ada pula Ulama' yang mengatakan bahwa menterjemahkan Al-Qur'an ittu boleh, agar orang yang bukan orang Arab bisa memahami Al-Qur'an walaupun tidak menguasai bahasa Arab. Sebagai jalan tengah, kita sepakati bahwa untuk sementara kita boleh menggunakan terjemahan Al-Qur'an untuk membantu memahami Al-Qur'an, tetapi kita tetap mempunyai kewajiban untuk belajar bahasa Arab agar pemahaman kita tentang Al-Quran dapat lebih baik dan lebih sempurna.
Allah mengatakan وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ yang artinya "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta benda..." Kenapa Allah menguji seorang mukmin yang berijhad di jalan-Nya dengan kekurangan harta benda? Ini tidak lain adalah karena mereka sebagian besar sibuk dengan jihad di jalan Allah, sibuk dengan dakwah, sibuk dengan Tholabul ‘ilm, sehingga semangatnya dalam mencari harta benda di dunia ini tidak sesemangat orang kafir ketika mencari harta benda.
Ujian Allah yang lain adalah kekurangan jiwa (kematian). Orang beriman yang sibuk dengan jihad dan jihad, pasti ada yang meninggal secara syahid di jalan Allah SWT. Dan kematian yang syahid di jalan Allah ini merupakan ujian bagi setiap orang beriman. Bapaknya meninggal, suaminya meninggal, dan mungkin anaknya juga meninggal dalam jihad fi sabilillah. Namun demikian, kata Allah para syuhada' ini tetap hidup di sisi Allah, walaupun manusia menganggapnya meninggal, seperti yang telah kita bahas pada ayat 154 sebelumnya.
Ayat 155 yang sedang kita bahas ini menyatakan bahwa Allah akan menguji orang beriman dengan beberapa hal. Bukankah sebenarnya Allah mampu memberi pahala kepada orang yang beriman tanpa harus mengujinya? Tentu saja mampu. Tetapi kenapa harus ada ujian berupa ketakutan, kelaparan dan sebagainya ? Maksud Allah dengan ujian ini tidak hanya bernuansa ukhrowi semata, yang menyangkut tentang adanya pahala yang diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah SWT. Selain berdimensi ukhrowi, ayat ini juga mempunyai dimensi duniawi.
Umat Islam adalah ummat yang beraqidah. Dan Aqidah Islam itu adalah sesuatu yang sangat mahal harganya. Dan Aqidah Islam ini merupakan dagangan Allah SWT. Rasulullah mengatakan yang artinya, "Ketahuilah bahwa dagangan Allah itu mahal, ketahuilah bahwa dagangan Allah itu adalah surga".. Sudah barang tentu dagangan Allah yang mahal itu harus dibeli dengan suatu pengorbanan yang setimpal dengan harga aqidah Islam itu. Allah tidak mau aqidah yang sangat mahal itu dibeli oleh orang yang kualitasnya murahan, dengan tenaga yang murahan. Aqidah yang mahal ini hanya bisa diperoleh dan diperjuangkan oleh orang-orang yang mempunyai nilai yang mahal juga.
Orang-orang yang berintima'- berafiliasi dengan aqidah yang mahal ini ketika pergi berjuang untuk membela aqidahnya, siap untuk mengorbankan harta benda dan jiwanya, serta siap untuk lapar dan takut. Seorang mukmin yang mampu untuk mengorbankan segalanya dalam membela Islam menunjukkan bahwa aqidahnya sudah benar. Kemampuan untuk berkorban ini merupakan manfaat yang dirasakan oleh seorang mukmin. Ini adalah faedah secara dakhiliyah, secara internal. Apa dampaknya bagi orang luar, bagi orang-orang yang non muslim, yang sekaligus adalah nilai-nilai dakwah ? Yang dapat dilihat dan dirasakan oleh orang-orang non muslim adalah bahwa seorang mukmin yang mempunyai aqidah Islamiyah yang baik itu mau untuk mengorbankan dirinya, harta bendanya dan apa saja yang dipunyainya untuk membela aqidahnya. Ini akan membuat orang-orang di luar Islam itu merasakan kebenaran Islam. Setelah mengetahui kebenaran Islam ini, InsyaAllah mereka akan akan berbondong-bondong untuk masuk Islam, sesuai dengan firman Allah,
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
"Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong" (QS An-Nash: 2).
Sebaliknya, ketika ada orang yang tidak mau memperjuangkan aqidahnya, berarti dia adalah orang murahan. Dan kumpulan dari yang seperti ini akan membentuk ummat yang murahan pula. Ini menyebabkan orang enggan untuk melirik Islam. , dalam dunia bisnis juga terjadi yang seperti ini. Semakin sesuatu itu mempunyai harga jual yang mahal, akan semakin membuat orang penasaran untuk mengetahui lebih jauh tentangnya. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu ada orang yang mau memasukakan anaknya ke SMPIT kita ini. Sebelum memasukkan anaknya itu, dia bertanya tentang berapa yang harus dibayarnya untuk maksudnya itu. Ketika dijawab bahwa uang pangkalnya "hanya" tujuh ratus ribu rupiah, dia malah tidak mau. Maunya yang tiga juta rupiah. Orang seperti ini mempunyai anggapan bahwa seolah-olah kalau yang murah itu murahan. Dan ini metpakan tabiat manusia (thobi'atul insan) untuk menyukai yang mahal. Akan tetapi tentu saja asal yang mahal itu adalah sesuatu yang benar. Makanya ketika Allah menyuruh ummat Islam untuk memperjuangkan aqidahnya dengan jiwanya, dengan harta bendanya, dengan waktunya, dengan ilmunya, dan lainnya, orang akan lihat. Mereka akan menyimpulkan bahwa tidak mungkin ummat Islam itu mau mengorbankan hal-hal yang mahal itu kecuali kalau aqidahnya benar. Pasti itu aqidahnya benar. Jadi inilah hikmah dari Allah SWT menurunkan ibtila' (ujian-ujian) kepada orang-orang yang berjuang di jalanNya. Ujian dari Allah baik yang berupa harta benda, jiwa dan lainnya bukan untuk menyiksa hambanya. Na'udzubillah, Allah tidak akan menyiksa hambanya, tetapi untuk mendidik dan membina hambanya.
Demikian berharganya Aqidah Islamiyah ini. Oleh karena itu kita harus membekali diri kita dengan aqidah ini. Makanya orang-orang yang diutus oleh Allah SWT untuk membawa aqidah ini bukanlah orang-orang sembarangan. Para Nabi dan para Rasul yang membawa aqidah ini adalah manusia-manusia pilihan. Allah menegaskan ini antara lain pada firmanNya
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ، شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepa-da Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang memperseku-tukan (Rabb) (lagi) yang mensyukuri ni'mat-ni'mat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus" (QS An-Nahl:120-121).
QS An-Nahl di atas menegaskan tentang Nabi Ibrahim sebagai manusia pilihan. Jadi ketika Allah memilih para Nabi dan Rasul itu bukan asal-asalan. Begitu pula ketika Allah memilih pewaris para Nabi yaitu para Ulama', orang-orang yang sholeh, orang-orang yang shidiq, dan para mujahid di jalan Allah, ini tidak kebetulan. Tetapi Allah memilih dan memilih diantara manusia yang layak pakai untuk dakwah, bukan malah memberatkan jalan dakwah. Makanya hatinya diuji oleh Allah agar bisa mencapai derajat muttaqin, sehingga ia stabil di jalan Allah. Dalam QS Al-Hujurat menyatakan,
إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar". (QS Al-Hujurat: 3).
Maksud ujian Allah itu agar setelah diuji kelihatan mana yang layak untuk berdakwah dan berjihad di jalan Allah dan mana yang tidak. Oleh karena itu ketika kita mendapat hidayah dari Allah dengan menjadi seorang Da'i, itu pada dasarnya adalah penghargaan dari Allah. Karena penghargaan kita tidak merasa kelelahan, pusing, dan jauh dari segala keluh kesah karena pekerjaan yang dilakukannya ini mulia. Memang dalam perjalanan dakwah ada rintangan, ada ujian, tetapi itulah seninya dakwah.
Selanjutnya Allah mengatakan ÅÍjIBv»A jrIË (dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar). Ujian-ujian itu berakhir dengan berita gembira. Dan ibtila' yang diberikan Allah tersebut pasti sesuai dengan standar keimanan kita kepadaNya.
Ibtila' yang diberikan Allah kepada para hambanya di muka bumi ini, ada empat kategori, yaitu, pertama, ibtila' merupakan Al-Waqi'ul Insani (realita manusia), dimana setiap manusia pastikan diuji. Kita sebagai manusia jangan sampai takut diuji, karena ujian itu pasti akan kita alami.
Kedua, ibtila' merupakan Al-waqi'ul Imani (realita keimanan), Kalau seorang manusia biasa saja pasti akan diuji oleh Allah, apalagi sebagai seorang mukmin. Pada sadarnya harus ada ujian untuk mengetahui kebenaran keimanan seorang muslim. Kadang-kadang ada orang yang merasa bahwa keimanannya sudah benar lantaran hidupnya mulus-mulus saja tanpa pernah mengalami ujian-ujian. Orang yang seperti ini seharusnya justeru bertanya tentang kebenaran imannya, kok hidupnya santai dan mulus-mulus saja. Hal ini karena Allah menyatakan,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ(2)وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS Al-Ankabut: 2-3).
Ketiga, ibtila' merupakan Al-waqi Ad-Da'awiy (realita dakwah). Sebenarnya secara otomatis kalau seorang mukmin adalah seorang da'i. Jadi kalau seorang mukmin saja pasti diuji, apalagi seorang Da'i, yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan ummat.
Keempat, ibtila' merupakan Al-Mi'yar Al-Imani (standarisasi keimanan). Ini artinya semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, akan semakin tinggi ujiannya. Dan semakin tinggi ujian Allah dan semakin lulus, maka semakin tinggi pula keimanannya. Rasulullah Saw. dalam suatu hadist mengatakan yang artinya "Orang yang berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang terbaik setelah Nabi. Apabila seseorang diuji oleh Allah, maka dia tetap tahan, maka ia ditambah lagi keimanannya". Wallahu a'lam bishshawab. (Syh).
Ayat ini berbicara tentang adanya cobaan yang akan dialami oleh kaum Muslimin, ketika manusia sedang diuji oleh Allah SWT, seringkali ia merasa seolah-olah ujian yang diterimanya itu sangat berat. Seolah-olah tidak ada yang lebih berat cobaannya selain yang terjadi pada dirinya. Untuk menghilangkan persepsi semacam ini, ketika Allah memberika ujian kepada seorng mukmin, Allah SWT menggunakan lafadz "bisyai-in" yang artinya sedikit.
Ayat ini berbicara tentang jihad. Ini artinya Allah sedang berbicara dengan kaum mukminin, karena yang melakukan jihad adalah orang yang beriman. Lafadz yang dipakai Allah adalah "bisyai-in min al-khouf..." yang artinya "...dengan sedikit ketakutan..." Perkataan bisyai'in, dipakai dengan menggunakan naqiroh yang bertujuan untuk menyedikitkan Jadi pada dasarnya ketika kita seorang mukmin ini diuji fi thoriiqil iman -dalam jalan keimanan. Allah dalam ayat ini menggunakan kata bi syai'in. Akan tetapi sebenarnya ketakutan dan kelaparan yang dirasakan oleh orang muslim tidak berbeda dengan ketakutan dan kelaparan yang dialami oleh orang kafir. Tetapi kenapa Allah menggunakan lafadz bi syai'in? Ini dimaksudkan bahwa bagaimanapun besarnya ujian Allah yang diberikan kepada kaum muslimin, tetapi sangat kecil jika dibandingkan dengan adzab Allah kepada orang kafir di dunia atau di akhirat. ita dapat memperhatikan firman Allah jika berbicara kepada orang kafir. Antara lain Allah berfirman,
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ ءَامِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari ni'mat-ni'mat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbua" (QS An-Nahl: 112).
Ayat 112 dari QS An-Nahl ini berkaitan dengan orang kafir. Ketika berkaitan dengan orang kafir Allah tidak mengatakan "bisyai-in min al-khouf...", tetapi "libaasa al-juu'I wa al-khoufi..."
Ketika Allah mengatakan kepada kaum Muslimin, Allah menggunakan bahasa yang berbeda, dimana Allah menggunakan kata bi syai'in, untuk menyedikitkan. Inilah bukti bahwa ujian yang diberikan Allah kepada seorang mukmin itu sebenarnya sangat sedikit.
Kemu'jizatan Al-Qur'an seperti ini tidak akan dapat kita pahami jika hanya membaca terjemahan Al-Qur'an saja. Oleh karena itu ada Ulama' yang melarang untuk menerjemahkan Al-Qur'an, karena dikhawatirkan akan mengurangi kesempurnaan Al-Qur'an itu sendiri. Tetapi ada pula Ulama' yang mengatakan bahwa menterjemahkan Al-Qur'an ittu boleh, agar orang yang bukan orang Arab bisa memahami Al-Qur'an walaupun tidak menguasai bahasa Arab. Sebagai jalan tengah, kita sepakati bahwa untuk sementara kita boleh menggunakan terjemahan Al-Qur'an untuk membantu memahami Al-Qur'an, tetapi kita tetap mempunyai kewajiban untuk belajar bahasa Arab agar pemahaman kita tentang Al-Quran dapat lebih baik dan lebih sempurna.
Allah mengatakan وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ yang artinya "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta benda..." Kenapa Allah menguji seorang mukmin yang berijhad di jalan-Nya dengan kekurangan harta benda? Ini tidak lain adalah karena mereka sebagian besar sibuk dengan jihad di jalan Allah, sibuk dengan dakwah, sibuk dengan Tholabul ‘ilm, sehingga semangatnya dalam mencari harta benda di dunia ini tidak sesemangat orang kafir ketika mencari harta benda.
Ujian Allah yang lain adalah kekurangan jiwa (kematian). Orang beriman yang sibuk dengan jihad dan jihad, pasti ada yang meninggal secara syahid di jalan Allah SWT. Dan kematian yang syahid di jalan Allah ini merupakan ujian bagi setiap orang beriman. Bapaknya meninggal, suaminya meninggal, dan mungkin anaknya juga meninggal dalam jihad fi sabilillah. Namun demikian, kata Allah para syuhada' ini tetap hidup di sisi Allah, walaupun manusia menganggapnya meninggal, seperti yang telah kita bahas pada ayat 154 sebelumnya.
Ayat 155 yang sedang kita bahas ini menyatakan bahwa Allah akan menguji orang beriman dengan beberapa hal. Bukankah sebenarnya Allah mampu memberi pahala kepada orang yang beriman tanpa harus mengujinya? Tentu saja mampu. Tetapi kenapa harus ada ujian berupa ketakutan, kelaparan dan sebagainya ? Maksud Allah dengan ujian ini tidak hanya bernuansa ukhrowi semata, yang menyangkut tentang adanya pahala yang diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah SWT. Selain berdimensi ukhrowi, ayat ini juga mempunyai dimensi duniawi.
Umat Islam adalah ummat yang beraqidah. Dan Aqidah Islam itu adalah sesuatu yang sangat mahal harganya. Dan Aqidah Islam ini merupakan dagangan Allah SWT. Rasulullah mengatakan yang artinya, "Ketahuilah bahwa dagangan Allah itu mahal, ketahuilah bahwa dagangan Allah itu adalah surga".. Sudah barang tentu dagangan Allah yang mahal itu harus dibeli dengan suatu pengorbanan yang setimpal dengan harga aqidah Islam itu. Allah tidak mau aqidah yang sangat mahal itu dibeli oleh orang yang kualitasnya murahan, dengan tenaga yang murahan. Aqidah yang mahal ini hanya bisa diperoleh dan diperjuangkan oleh orang-orang yang mempunyai nilai yang mahal juga.
Orang-orang yang berintima'- berafiliasi dengan aqidah yang mahal ini ketika pergi berjuang untuk membela aqidahnya, siap untuk mengorbankan harta benda dan jiwanya, serta siap untuk lapar dan takut. Seorang mukmin yang mampu untuk mengorbankan segalanya dalam membela Islam menunjukkan bahwa aqidahnya sudah benar. Kemampuan untuk berkorban ini merupakan manfaat yang dirasakan oleh seorang mukmin. Ini adalah faedah secara dakhiliyah, secara internal. Apa dampaknya bagi orang luar, bagi orang-orang yang non muslim, yang sekaligus adalah nilai-nilai dakwah ? Yang dapat dilihat dan dirasakan oleh orang-orang non muslim adalah bahwa seorang mukmin yang mempunyai aqidah Islamiyah yang baik itu mau untuk mengorbankan dirinya, harta bendanya dan apa saja yang dipunyainya untuk membela aqidahnya. Ini akan membuat orang-orang di luar Islam itu merasakan kebenaran Islam. Setelah mengetahui kebenaran Islam ini, InsyaAllah mereka akan akan berbondong-bondong untuk masuk Islam, sesuai dengan firman Allah,
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
"Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong" (QS An-Nash: 2).
Sebaliknya, ketika ada orang yang tidak mau memperjuangkan aqidahnya, berarti dia adalah orang murahan. Dan kumpulan dari yang seperti ini akan membentuk ummat yang murahan pula. Ini menyebabkan orang enggan untuk melirik Islam. , dalam dunia bisnis juga terjadi yang seperti ini. Semakin sesuatu itu mempunyai harga jual yang mahal, akan semakin membuat orang penasaran untuk mengetahui lebih jauh tentangnya. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu ada orang yang mau memasukakan anaknya ke SMPIT kita ini. Sebelum memasukkan anaknya itu, dia bertanya tentang berapa yang harus dibayarnya untuk maksudnya itu. Ketika dijawab bahwa uang pangkalnya "hanya" tujuh ratus ribu rupiah, dia malah tidak mau. Maunya yang tiga juta rupiah. Orang seperti ini mempunyai anggapan bahwa seolah-olah kalau yang murah itu murahan. Dan ini metpakan tabiat manusia (thobi'atul insan) untuk menyukai yang mahal. Akan tetapi tentu saja asal yang mahal itu adalah sesuatu yang benar. Makanya ketika Allah menyuruh ummat Islam untuk memperjuangkan aqidahnya dengan jiwanya, dengan harta bendanya, dengan waktunya, dengan ilmunya, dan lainnya, orang akan lihat. Mereka akan menyimpulkan bahwa tidak mungkin ummat Islam itu mau mengorbankan hal-hal yang mahal itu kecuali kalau aqidahnya benar. Pasti itu aqidahnya benar. Jadi inilah hikmah dari Allah SWT menurunkan ibtila' (ujian-ujian) kepada orang-orang yang berjuang di jalanNya. Ujian dari Allah baik yang berupa harta benda, jiwa dan lainnya bukan untuk menyiksa hambanya. Na'udzubillah, Allah tidak akan menyiksa hambanya, tetapi untuk mendidik dan membina hambanya.
Demikian berharganya Aqidah Islamiyah ini. Oleh karena itu kita harus membekali diri kita dengan aqidah ini. Makanya orang-orang yang diutus oleh Allah SWT untuk membawa aqidah ini bukanlah orang-orang sembarangan. Para Nabi dan para Rasul yang membawa aqidah ini adalah manusia-manusia pilihan. Allah menegaskan ini antara lain pada firmanNya
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ، شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepa-da Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang memperseku-tukan (Rabb) (lagi) yang mensyukuri ni'mat-ni'mat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus" (QS An-Nahl:120-121).
QS An-Nahl di atas menegaskan tentang Nabi Ibrahim sebagai manusia pilihan. Jadi ketika Allah memilih para Nabi dan Rasul itu bukan asal-asalan. Begitu pula ketika Allah memilih pewaris para Nabi yaitu para Ulama', orang-orang yang sholeh, orang-orang yang shidiq, dan para mujahid di jalan Allah, ini tidak kebetulan. Tetapi Allah memilih dan memilih diantara manusia yang layak pakai untuk dakwah, bukan malah memberatkan jalan dakwah. Makanya hatinya diuji oleh Allah agar bisa mencapai derajat muttaqin, sehingga ia stabil di jalan Allah. Dalam QS Al-Hujurat menyatakan,
إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar". (QS Al-Hujurat: 3).
Maksud ujian Allah itu agar setelah diuji kelihatan mana yang layak untuk berdakwah dan berjihad di jalan Allah dan mana yang tidak. Oleh karena itu ketika kita mendapat hidayah dari Allah dengan menjadi seorang Da'i, itu pada dasarnya adalah penghargaan dari Allah. Karena penghargaan kita tidak merasa kelelahan, pusing, dan jauh dari segala keluh kesah karena pekerjaan yang dilakukannya ini mulia. Memang dalam perjalanan dakwah ada rintangan, ada ujian, tetapi itulah seninya dakwah.
Selanjutnya Allah mengatakan ÅÍjIBv»A jrIË (dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar). Ujian-ujian itu berakhir dengan berita gembira. Dan ibtila' yang diberikan Allah tersebut pasti sesuai dengan standar keimanan kita kepadaNya.
Ibtila' yang diberikan Allah kepada para hambanya di muka bumi ini, ada empat kategori, yaitu, pertama, ibtila' merupakan Al-Waqi'ul Insani (realita manusia), dimana setiap manusia pastikan diuji. Kita sebagai manusia jangan sampai takut diuji, karena ujian itu pasti akan kita alami.
Kedua, ibtila' merupakan Al-waqi'ul Imani (realita keimanan), Kalau seorang manusia biasa saja pasti akan diuji oleh Allah, apalagi sebagai seorang mukmin. Pada sadarnya harus ada ujian untuk mengetahui kebenaran keimanan seorang muslim. Kadang-kadang ada orang yang merasa bahwa keimanannya sudah benar lantaran hidupnya mulus-mulus saja tanpa pernah mengalami ujian-ujian. Orang yang seperti ini seharusnya justeru bertanya tentang kebenaran imannya, kok hidupnya santai dan mulus-mulus saja. Hal ini karena Allah menyatakan,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ(2)وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS Al-Ankabut: 2-3).
Ketiga, ibtila' merupakan Al-waqi Ad-Da'awiy (realita dakwah). Sebenarnya secara otomatis kalau seorang mukmin adalah seorang da'i. Jadi kalau seorang mukmin saja pasti diuji, apalagi seorang Da'i, yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan ummat.
Keempat, ibtila' merupakan Al-Mi'yar Al-Imani (standarisasi keimanan). Ini artinya semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, akan semakin tinggi ujiannya. Dan semakin tinggi ujian Allah dan semakin lulus, maka semakin tinggi pula keimanannya. Rasulullah Saw. dalam suatu hadist mengatakan yang artinya "Orang yang berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang terbaik setelah Nabi. Apabila seseorang diuji oleh Allah, maka dia tetap tahan, maka ia ditambah lagi keimanannya". Wallahu a'lam bishshawab. (Syh).
Pengirim: Navis
0 comments:
Post a Comment