Samarinda, siang tadi diguyur hujan cukup deras. Tapi sebentar, mungkin tak lebih dari 1 jam. Namun, air yang diturunkanNya sudah cukup untuk membasahi rerumputan yang dari tadi siang disorot teriknya sinar mentari. Dinding rumah kami pun seperti kegirangan, karena mendapat kesejukan dari tetesan air hujan yang jatuh membasahi bumi.
Menjelang malam Minggu, rasanya ada sesuatu yang kurang untuk menemani saat menyaksikan beberapa pertandingan sepak bola. Termasuk salah satu diantaranya yang akan bermain adalah tim kesayangan, Arsenal. Terlebih istri juga merasakan hal yang sama.
"Beli marman ya?"
"Apa tuh marman?" tanya saya pada istri.
"Martabak manis, hehehe."
"Ooh, hahaha, kirain apa. Ada-ada aja"
Selepas maghrib saya memutuskan untuk beli martabak manis bareng si sulung Maahirah. Awalnya saya berencana beli di tempat biasa. Yang ini jaraknya sekitar 1 km dari rumah, sengaja cari yang paling dekat. Tapi ternyata tutup.
Tanpa pikir panjang, saya arahkan sepeda motor saya ke tempat kedua. Penjual martabak pilihan kedua ini berjarak sekitar 1 km dari penjual martabak pertama, berada di samping pom bensin. Saya sudah kenal dekat dengan mas-nya. Dia rupanya satu daerah dengan ayah saya, Tegal. Dari sinilah rupanya perkenalan saya dengannya makin akrab. Sampai pernah dikasih harga diskon suatu waktu. Pikir saya, itulah buah silaturahim. Namun, lagi-lagi ternyata tidak buka malam tadi.
Semoga di tempat yang ketiga ini buka. Saya segera menuju ke tempat ketiga. Yang ini biasanya langganan sepulang dari main futsal. Jadwal futsal rutin yang saya ikuti dengan rekan-rekan kantor dimulai jam 21.00 WITA, selesai jam 22.00, kecuali kalau ada sparring (tanding dengan tim lain), biasanya 2 jam lamanya. Nah, rasa lapar ini biasanya disiasati dengan beli martabak manis. Dan ternyata buka. Setelah saya parkir motor, langsung saja saya pesan 1 bungkus martabak manis kesukaan istri, kacang cokelat.
Sekilas saya amati penjualnya masih sangat muda, bahkan mungkin saya taksir baru lulus SMA/SMK. Kira-kira usianya sekitar 17 atau 18 tahunan, mereka berdua. Pemuda pertama (yang saya pesani marman) langsung menuang adonan di atas wajan atau teflon. Ada yang berbeda dari pengamatan saya. Tekniknya menuang berbeda dari 2 penjual martabak yang saya ceritakan di atas. Setelah dituang dia terlalu lama memainkan adonannya dengan entong. Oh mungkin supaya rata, pikir saya. Karena biasanya, adonan cukup dituang di tengah teflon hingga menyebar rata, kemudian diratakan dengan cara memutar gelas adonan plastik sebanyak 2 sampai 3 kali putaran. Lalu ditutup. Sesekali dicek.
Tak lama sekitar 5 menit saya penasaran dengan martabak saya. "Lhoo? Kok nggak ada sarangnya?" Pikir saya dalam hati. Biasanya martabak bentuknya bolong-bolong di permukaannya, efek dari soda kuwe. Selain itu teksturnya bantet. Tanpa berpikir lama dia baru berjualan martabak.
Lalu pemuda yang satunya sedang membuat kulit martabak telor, melayani pelanggan yang lain. Dan apa yang terjadi? Setelah dilempar memutar di udara dan dibentangkan di alas atau talenan, dengan sangat kecewa ia buang kulit martabak telor tersebut ke kresek sampah sambil menggerutu, "Aaargh, lengket...!" Rupanya kulitnya menempel sehingga tidak membentang tipis sempurna. Dugaan saya semakin yakin, 2 pemuda ini masih belajar berjualan martabak.
Lalu, apa yang harus saya lakukan? Setelah tahu kalau mereka sepertinya akan menyuguhkan martabak yang tidak seenak biasanya. Sempat saya memutuskan untuk membatalkan pesanan, tapi kemudian saya urungkan niat itu.
Saya lihat martabak telor pesanan pembeli yang satu sudah selesai dibungkus. Saat diangkat dan mulai dipotong sempat saya perhatikan. Cara memotongnya benar-benar terlihat masih pemula. Namun, pembeli martabak telor ini cukup bersahaja. Ia yang juga mengamati proses pembuatan martabak, sama seperti saya, mungkin akan menyimpulkan jika mereka masih pemula. Namun ia juga menunggu hingga selesai. Dan setelah jadi, pembeli ini mengucapkan terima kasih yang saya dengar berkali-kali. Sangat tulus terdengarnya di telinga saya. Sambil melempar senyum.
Lantas, bagaimana dengan martabak saya? Alhamdulillah jadi juga. Langsung saja saya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, lalu dibuka untuk dimakan bersama istri.
Komentar istri rupanya menguatkan kembali kalau penjualnya masih sangat pemula.
"Hmmm, kok gini ya Mas martabaknya? Bantet dan nggak bersarang?Tuh kan Maahirah aja nggak mau makan banyak" tanya istri.
"Iya, penjualnya masih muda dan masih sangat pemula. Makanya Mas tetap tungguin untuk menghargai usahanya..." Saya ceritakan juga semua hal yang terjadi selama menunggu martabak tadi.
"Tapi kan kasihan nanti dia rugi, udah keluar biaya banyak untuk beli bahan adonannya, eh malah dibuang." Naluri dan sifat kewanitaannya muncul. Kasih sayang dan perasaan wanita memang sangat kuat.
"Ya memang sih. Tapi semua itu proses yang harus mereka jalani dan lewati. Kalau nggak gitu, ya nggak akan pernah belajar. Uang yang hilang itu nggak seberapa dibandingkan dengan pelajaran yang dia dapatkan. Coba pikir, semua penjual martabak yang sekarang jago buat martabak, dulunya juga pasti nggak bisa. Justru dari kesalahan-kesalahan itulah, akhirnya mereka bisa jadi lebih baik. Itu proses". Papar saya pada istri.
Mungkin sahabat semua pernah mengalami hal serupa dengan saya. Dan mungkin perasaan kecewa bisa saja muncul dari ketidakpuasan yang didapatkan karenanya. Hak kita sebagai konsumen memang mendapatkan pelayanan terbaik (service excellent) dari penjual atau pedagang. Baik itu berupa layanan yang sifatnya materi, seperti produk pesanan yang berkualitas. Ataupun yang bersifat non-fisik seperti keramah-tamahan dan kenyamanan. Namun, dalam kondisi tertentu, kita patut untuk menengok lebih seksama dan melihat lebih teliti dengan hati. Rasanya kalau semua harus sempurna seperti yang kita harapkan, tidak ada yang bisa mengambil pelajaran yang berharga.
Bagi saya, sebagai pembeli, tentu saya jadi belajar. Bahkan, selama saya menunggu proses pembuatan martabak manis tersebut, saya sudah diberikan kesempatan untuk belajar. Lalu, bagi 2 pemuda penjual martabak, juga mereka jadi belajar. Bahwa semua hal yang sedang kita tekuni memerlukan sebuah proses. Proses yang panjang dan tidak mudah. Untuk menjadi mahir membuat martabak, perlu sebuah proses. Inti dari semua ini adalah tentang belajar menghargai proses.
Salam,
Tanpa pikir panjang, saya arahkan sepeda motor saya ke tempat kedua. Penjual martabak pilihan kedua ini berjarak sekitar 1 km dari penjual martabak pertama, berada di samping pom bensin. Saya sudah kenal dekat dengan mas-nya. Dia rupanya satu daerah dengan ayah saya, Tegal. Dari sinilah rupanya perkenalan saya dengannya makin akrab. Sampai pernah dikasih harga diskon suatu waktu. Pikir saya, itulah buah silaturahim. Namun, lagi-lagi ternyata tidak buka malam tadi.
Semoga di tempat yang ketiga ini buka. Saya segera menuju ke tempat ketiga. Yang ini biasanya langganan sepulang dari main futsal. Jadwal futsal rutin yang saya ikuti dengan rekan-rekan kantor dimulai jam 21.00 WITA, selesai jam 22.00, kecuali kalau ada sparring (tanding dengan tim lain), biasanya 2 jam lamanya. Nah, rasa lapar ini biasanya disiasati dengan beli martabak manis. Dan ternyata buka. Setelah saya parkir motor, langsung saja saya pesan 1 bungkus martabak manis kesukaan istri, kacang cokelat.
Sekilas saya amati penjualnya masih sangat muda, bahkan mungkin saya taksir baru lulus SMA/SMK. Kira-kira usianya sekitar 17 atau 18 tahunan, mereka berdua. Pemuda pertama (yang saya pesani marman) langsung menuang adonan di atas wajan atau teflon. Ada yang berbeda dari pengamatan saya. Tekniknya menuang berbeda dari 2 penjual martabak yang saya ceritakan di atas. Setelah dituang dia terlalu lama memainkan adonannya dengan entong. Oh mungkin supaya rata, pikir saya. Karena biasanya, adonan cukup dituang di tengah teflon hingga menyebar rata, kemudian diratakan dengan cara memutar gelas adonan plastik sebanyak 2 sampai 3 kali putaran. Lalu ditutup. Sesekali dicek.
Tak lama sekitar 5 menit saya penasaran dengan martabak saya. "Lhoo? Kok nggak ada sarangnya?" Pikir saya dalam hati. Biasanya martabak bentuknya bolong-bolong di permukaannya, efek dari soda kuwe. Selain itu teksturnya bantet. Tanpa berpikir lama dia baru berjualan martabak.
Lalu pemuda yang satunya sedang membuat kulit martabak telor, melayani pelanggan yang lain. Dan apa yang terjadi? Setelah dilempar memutar di udara dan dibentangkan di alas atau talenan, dengan sangat kecewa ia buang kulit martabak telor tersebut ke kresek sampah sambil menggerutu, "Aaargh, lengket...!" Rupanya kulitnya menempel sehingga tidak membentang tipis sempurna. Dugaan saya semakin yakin, 2 pemuda ini masih belajar berjualan martabak.
Lalu, apa yang harus saya lakukan? Setelah tahu kalau mereka sepertinya akan menyuguhkan martabak yang tidak seenak biasanya. Sempat saya memutuskan untuk membatalkan pesanan, tapi kemudian saya urungkan niat itu.
Saya lihat martabak telor pesanan pembeli yang satu sudah selesai dibungkus. Saat diangkat dan mulai dipotong sempat saya perhatikan. Cara memotongnya benar-benar terlihat masih pemula. Namun, pembeli martabak telor ini cukup bersahaja. Ia yang juga mengamati proses pembuatan martabak, sama seperti saya, mungkin akan menyimpulkan jika mereka masih pemula. Namun ia juga menunggu hingga selesai. Dan setelah jadi, pembeli ini mengucapkan terima kasih yang saya dengar berkali-kali. Sangat tulus terdengarnya di telinga saya. Sambil melempar senyum.
Lantas, bagaimana dengan martabak saya? Alhamdulillah jadi juga. Langsung saja saya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, lalu dibuka untuk dimakan bersama istri.
Komentar istri rupanya menguatkan kembali kalau penjualnya masih sangat pemula.
"Hmmm, kok gini ya Mas martabaknya? Bantet dan nggak bersarang?Tuh kan Maahirah aja nggak mau makan banyak" tanya istri.
"Iya, penjualnya masih muda dan masih sangat pemula. Makanya Mas tetap tungguin untuk menghargai usahanya..." Saya ceritakan juga semua hal yang terjadi selama menunggu martabak tadi.
"Tapi kan kasihan nanti dia rugi, udah keluar biaya banyak untuk beli bahan adonannya, eh malah dibuang." Naluri dan sifat kewanitaannya muncul. Kasih sayang dan perasaan wanita memang sangat kuat.
"Ya memang sih. Tapi semua itu proses yang harus mereka jalani dan lewati. Kalau nggak gitu, ya nggak akan pernah belajar. Uang yang hilang itu nggak seberapa dibandingkan dengan pelajaran yang dia dapatkan. Coba pikir, semua penjual martabak yang sekarang jago buat martabak, dulunya juga pasti nggak bisa. Justru dari kesalahan-kesalahan itulah, akhirnya mereka bisa jadi lebih baik. Itu proses". Papar saya pada istri.
Mungkin sahabat semua pernah mengalami hal serupa dengan saya. Dan mungkin perasaan kecewa bisa saja muncul dari ketidakpuasan yang didapatkan karenanya. Hak kita sebagai konsumen memang mendapatkan pelayanan terbaik (service excellent) dari penjual atau pedagang. Baik itu berupa layanan yang sifatnya materi, seperti produk pesanan yang berkualitas. Ataupun yang bersifat non-fisik seperti keramah-tamahan dan kenyamanan. Namun, dalam kondisi tertentu, kita patut untuk menengok lebih seksama dan melihat lebih teliti dengan hati. Rasanya kalau semua harus sempurna seperti yang kita harapkan, tidak ada yang bisa mengambil pelajaran yang berharga.
Bagi saya, sebagai pembeli, tentu saya jadi belajar. Bahkan, selama saya menunggu proses pembuatan martabak manis tersebut, saya sudah diberikan kesempatan untuk belajar. Lalu, bagi 2 pemuda penjual martabak, juga mereka jadi belajar. Bahwa semua hal yang sedang kita tekuni memerlukan sebuah proses. Proses yang panjang dan tidak mudah. Untuk menjadi mahir membuat martabak, perlu sebuah proses. Inti dari semua ini adalah tentang belajar menghargai proses.
Bahwa semua hal yang sedang kita tekuni memerlukan sebuah proses. Proses yang panjang dan tidak mudahDan untuk menjadi diri kita yang sekarang, juga merupakan hasil dari rangkaian-rangkaian suatu proses yang sangat panjang. Dulu kita hanya seorang bayi, kemudian jadi anak-anak, lalu jadi remaja, kemudian dewasa, lalu menikah, dan akhirnya mati. Semua itu adalah proses. Maka, mari belajar menghargai proses. Bahwa kita masih belum menjadi apa-apa sekarang, nikmati dan syukuri. Apakah kita belum baik dari aspek penghasilan, nikmati prosesnya. Atau merasa belum baik sebagai seorang istri dan seorang ibu, seorang ayah dan seorang suami, hargai proses tersebut. Atau mungkin belum baik sebagai atasan, sebagai bawahan, hargai prosesnya. Apakah kita belum baik dari sisi agama, hargai proses tersebut. Sebagai apapun kita, dimana kita merasa belum baik, hargai setiap proses yang ada dan teruslah belajar dan belajar. Selamat belajar untuk menghargai proses dari waktu ke waktu.
Salam,
3 comments:
Halo mas, makasih udah mampir ke blog saya.
Maaf baru sempat mampir.
Mas, baik banget!!!!
Nanti kalo saya yg jualan jg gitu ya. Huahahaha
Saya ud lulus kuliah malah, berdekade lalu, tapi masih gagal aja bikin martabaknya. Ga bersarang! Susah tuh bikin bersarang gitu mas.
Malahan setauku, kalo tukang martabak biasanya ada step dimana mereka buang adonan dulu untuk liat beberapa panas pan nya.
Bener deh ga boong, bikin martabak itu susah. Saya aja ga berhasil2. Anyway, makasih sudah menghargai proses *calon tukang martabak*
Benar kata Mbak Ratu, Mas Sae baik banget. Kalo orang lain, sudah diomelin kali penjual martabaknya. Semoga dia makin membaik yah dalam berprosesnya dan ketemu pembeli kayak Mas Sae semua.
Halo juga mba Ratu, makasih udah mampir. Katanya juga ada teknik khusus saat mengaduk adonannya, nggak sembarangan.
Btw, kalo mba Ratu udah berhasil bikin martabak, bisa alih profesi beneraan dong, hehe.
@mba Mugniar: makasih mba...semoga dia sukses dgn martabaknya.
Post a Comment